Pondok Wali Songo Ngabar, Pesantren di Ponorogo Ini Punya Cerita Historis dan Ideologi Penamaan Wali Songo

- Selasa, 23 Mei 2023 | 09:23 WIB
Tokoh di balik berdirinya Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, salah satu pesantren di Ponorogo. (Gambar: ppwalisongo.id)
Tokoh di balik berdirinya Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, salah satu pesantren di Ponorogo. (Gambar: ppwalisongo.id)

ngaderes.com - Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar atau dikenal dengan Pondok Ngabar yang merupakan pesantren di Ponorogo, terletak di Desa Ngabar, Kecamatan Siman.

Dikutip dari laman resmi Pondok Ngabar, secara historis, penamaan Pondok Ngabar sebagai pesantren di Ponorogo ini menyimpan rekam jejak sejarah KH. Ibrahim Thoyyib.

Kala itu, Kiai Ibrahim membawa sembilan santri pertama yang ia bawa dari Gontor, saat bertugas menjadi panitia penerimaan santri baru di Pondok Modern Gontor yang juga pesantren di Ponorogo.

Baca Juga: HIMADIKTI Garut Gebyar Metaverse: Eksplorasi Seru PTI di Dunia Virtual

Oleh karena kehadiran sembilan santri pertama itulah Pondok Ngabar diberi nama Pondok Pesantren “Wali Songo” Ngabar.

Berdasarkan musyawarah pembahasan nama-nama sembilan santri pertama yang dilaksanakan pada Jum’at, 14 Januari 2011, sembilan santri pertama tersebut diantaranya Ahmad (Pacitan); Kawakib (Pacitan); Ahmad Nawawi (Banten); Mahmud Sulaiman (Riau); Sahan (Riau); Harun Arrasyid (Kalimantan); Aunur Rafiq (Ujung Pandang); Muhasyim (Yogyakarta); Khomsani (Banten).

Secara ideologis, pemilihan nama Wali Songo dilandasi dengan keinginan agar santri-santri Ngabar kelak dapat mewarisi semangat dakwah Wali Songo yang mengislamkan tanah Jawa.

Selain itu, para santri diharapkan mampu meneladani metode dakwah para Wali Songo, sehingga Islam dapat membumi, mampu berdampingan dengan budaya lokal, humanis dan damai.

Baca Juga: Mahasiswa Dapat Berperan dalam Dunia Legislatif, Seperti Ini Caranya!

Hal tersebut diperkuat dengan sosok Kiai Ibrahim yang menerapkan dakwah kultural dan humanis dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat di sekitar pesantren.

Menurutnya, dakwah Islam harus dilakukan dengan cara yang halus tanpa ada unsur paksaan atau menyakiti (‘adamu al-haraj). Kemudian harus bertahap (tadriji) dengan penyesuaian-penyesuaian kebudayaan setempat.

Sehingga tidak heran jika beliau sangat menggemari wayang kulit yang merupakan salah satu warisan sunan Kalijaga dalam mendakwahkan Islam.***

Editor: Intan Resika Rohmah

Sumber: ppwalisongo.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X