Opini- Dalam dunia Jurnalistik hoaks sudah bukan hal baru sebenarnya, hanya saja ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman ditambah popularitas media sosial hari ini. Jurnalistik sejak dulu mengenal istilah berita buatan (Fabricated News/Fake News) yang tidak berdasar pada kenyataan dengan maksud tertentu hingga maksud politis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), HOAX kemudian ditulis Hoaks diartikan sebagai berita bohong. Memang hampir sama hanya jenisnya bukan berita dalam arti melalui proses Jurnalistik seutuhnya. Sementara menurut saya, jika disebut berita itu artinya hanya dibuat oleh media massa saja. Lebih cocok hoaks ini disebut “cerita bohong” untuk lelucon, menipu hingga memperdaya.
Saat terjadi pandemi virus corona penyebaran konten hoaks semakin massif. Narasinya beragam dan tersebar melalui sejumlah media sosial maupun pesan singkat.
Di Jawa Barat saja sejak tanggal 8–15 April 2020, Jabar Saber Hoax melaporkan jumlah informasi yang terklarifikasi adalah konten hoaks mencapai 420 laporan dari 421 laporan yang masuk.
Sebagai seorang praktisi media yang juga ikut menghantam penyebaran hoaks ini, setidaknya saya memiliki 3 poin analisa terkait hal ini berdasar juga pada pengalaman berbincang dengan pakar dalam bidangnya :
1. Malas Membaca Isi Pesan
Dari 61 negara yang dilibatkan dalam studi “World Most Literate Nation” yang dipublikasikan pada 2016, Indonesia menepati urutan ke 60 soal minat membaca.
Mungkin saja bagi sebagian orang yang ikut menyebarkan konten hoaks, membagikan konten di media sosial itu menyenangkan. Namun minat berbagi ini kurang diimbangi dengan minat membaca. Tak jarang orang tertipu dengan judul yang heboh dan bombastis, di kalangan media massa ini disebut juga click bait dan nanti kita bahas lagi.
Kembali pada malasnya membaca konten, hal ini memang mendasar karena kecenderungan isi dari konten hoaks ini akan berbau menakutkan dan biasanya tidak disertakan sumber yang jelas.
Jika kita mulai membaca terlebih dahulu, peluang kita tahu bahwa ini adalah hoaks semakin tercerahkan, misalnya setelah dibaca kita tidak temukan sumber yang jelas apakah tulisan itu berasal dari media mainstream atau sumber — sumber lainnya.
2. Gemar Berbagi Informasi
Masyarakat pengguna internet di Indonesia cenderung suka menyebarkan informasi kepada orang lain. Namun masalahnya gemar berbagi ini dilakukan tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya.
Orang ingin menjadi yang pertama dan mencari sensasi padahal sejatinya itu adalah berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan.
Sejumlah komunitas di Indonesia sudah melabelkan dirinya sebagai pembasmi hoaks seperti Indonesia Hoaks Buster, begitu pula dengan media seperti PRFM radio Bandung juga mewadahi pertanyaan masyarakat yang ingin mengkalrifikasi konten hoaks, atau instansi pemerintah seperti Pemerintah provinsi Jawa Barat juga sudah memiliki Jabar Saber Hoax. Jadi silahkan baiknya kita konfirmasi dulu kebenaranan suatu informasi. Bahkan google pun memiliki fasilitas Google Image terutama jika itu berupa foto, link atau video.
3. Tidak Mengetahui itu Hoaks
Sebenarnya ini adalah suatu kesimpulan dari 2 poin di atas, saat kita malas membaca informasi yang kita terima secara detail ditambah lagi adanya dorongan untuk mencari sensasi atau ingin menyebarkan kembali kepada orang lain, akhirnya kita baru saja mengetahui bahwa yang kita sebar adalah hoaks.
Tujuan awalnya memang mulia agar orang juga mengetahui informasi kabar terbaru, namun sayangnya kita tidak tahu ternyata itu adalah hoaks.
Pesan saya, mari kita bijak bermedia sosial dan tingkatkan pengetahuan juga tingkatkan imun tubuh saat pandemic virus corona ini.
Penulis: Wakil Pemred PRFM, Iqbal Pratama Putra
Editor: Isyfa