Di penghujung tahun, kita sebagai umat Islam khususnya di Indonesia selalu saja dihadapkan dengan masalah klasik yang senantiasa berulang. Masalah klasik dalam menyikapi buah dari heterogenitas atau kemajemukan di wilayah ritual yang dibawa ke ranah publik dan dipaksakan untuk menjadi budaya atas dasar tenggang rasa atau toleransi. Persoalan itu berupa pro-kontra mengucapkan “selamat Natal” kepada umat Nasrani dan persoalan selanjutnya larangan mengikuti perayaan tahun baru. Bersumber dari informasi simpang siur melalui saluran media daring tersebut kerap kali menghadirkan diskusi berkepanjangan terutama melalui grup-grup aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp. Dengan dalih menyadur salah satu ulama kenamaan tanpa berusaha untuk memastikan kesahihannya kemudian diperparah dengan mudahnya pembaca terprovokasi melalui judul tanpa menuntaskan bacaannya. Oleh karena itu pantas jika daya baca masyarakat Indonesia rendah dan dikategorikan pembaca judul “Readers Tittle”. Kembali pada isu tahunan, penulis mengambil benang merah bahwa perdebatan tersebut berkutat pada dua titik pemberangkatan yakni tasamuh تسمح dan tasyabuh تشبه. Tasamuh mengandung arti toleransi, bermurah hati, ramah, lemah lembut.[1] Sedangkan tasyabuh adalah menyerupai atau keserupaan.[2] Dari sinilah para ulama berbeda pendapat. Mereka yang membolehkan mengucapkan selamat pada perayaan Natal atau lebih umumnya perayaan agama lain berangkat dari rasa ingin menyenangkan kerabat dekat. Sedangkan yang menilai ucapan selamat tersebut sebagai bentuk tasyabuh menganggap menyerupai agama lain dan dikhawatirkan merusak akidahnya. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha Shiratal Mustaqim, 2:51 berkenaan dengan mengikuti perayaan agama lain yang pada konteks saat itu terdapat dua hari raya Nairuz dan Mahrojan beliau berkata:
وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: مَنْ تَأَسَّى بِبِلَادِ الْأَعَاجِمِ، وَصَنَعَ نَيْرُوزَهَمْ، وَمِهْرَجَانَهمْ، وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ، وَهُوَ كَذَلِكَ، حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. اقتضاء الصراط المستقيم
“Berkata Abdullah bin Amr bin Ash, “Barangsiapa meneladani negeri asing (kafir) dan ia melakukan perayaan Nairuz dan perayaan Mahrojan lalu meniru-niru mereka sampai ia mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” Kemudian secara tegas Ibnu Taimiyah melanjutkan pengharaman mengikuti ritual yang berada di luar Islam dengan fatwanya:لاَ يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَشَبَّهُوا بِهِمْ فِي شَيْءٍ، مِمَّا يَخْتَصُّ بِأَعْيَادِهِمْ، لاَ مِنْ طَعَامٍ، وَلاَ لِبَاسٍ وَلاَ اغْتِسَالٍ، وَلاَ إيقَادِ نِيرَانٍ، وَلاَ تَبْطِيلِ عَادَةٍ مِنْ مَعِيشَةٍ أَوْ عِبَادَةٍ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. وَلاَ يَحِلُّ فِعْلُ وَلِيمَةٍ، وَلاَ الْإِهْدَاءُ، وَلاَ الْبَيْعُ بِمَا يُسْتَعَانُ بِهِ عَلَى ذَلِكَ لأَجْلِ ذَلِك
“Tidaklah halal bagi kaum muslimin meniru mereka dalam hal apapun yang berkaitan dengan pengkhususan hari raya mereka, baik itu makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, pengkhususan tradisi ataupun ibadah, dan selain itu. Tidak halal pula melakukan resepsi, demikian pula pemberian hadiah, dan jual beli untuk membentu perbuatan tersebut dengan tujuan seperti itu..” Sektitar tahun 80-an Buya Hamka memfatwakan bahwa umat Islam tidak boleh merayakan apa yang bukan ajarannya sendiri. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama bersama bukanlah menyuburkan kerukunan umat beragama atau tasamuh, tetapi akan menyuburkan kemunafikan. Hamka menulis secara gambling: “Si orang Islam diharuskan dengan khusyu, bahwa tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh Pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat,” Sedangkan Yusuf Qardhawi dalam hal ini berpendapat bolehnya mengucapkan Natal dengan berdasar fatwanya dengan pertimbangan berbuat baik kepada orang lain, termasuk Ahlul Kitab (Kristiani-Yahudi). Beliau berdalil dengan ayat Al-Quran surat Al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. Bahwasanya Allah hanya melarang kalian loyal kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari kampung halaman kalian, dan mereka mengusir kalian dengan terang-terangan, maka siapa yang loyal kepadanya, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” Senada dengan Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab pun berpendapat bahwa hanya sekadar mengucapkan Selamat Natal boleh selama akidah seorang muslim terjaga. Dengan mengutip QS. Maryam ayat 33 yang berbunyi:وَٱلسَّلَٰمُ عَلَيَّ يَوۡمَ وُلِدتُّ وَيَوۡمَ أَمُوتُ وَيَوۡمَ أُبۡعَثُ حَيّٗا0
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali". Berdasarkan ayat di atas, Quraish Shihab mengatakan bahwa ucapan atas kelahiran Nabi Isa tersebut diucapkan langsung oleh Nabi Isa dalam Al-Quran. Dengan catatan, akidah kita mengenai Nabi Isa harus tetap berkeyakinan bahwa ia adalah seorang Rasul bukan seorang tuhan. Tetapi dalam hal mengucapkan selamat kepada umat Nasrani beliau beralasan untuk menyenangkan perasaan mereka semata. Di antara pendapat-pendapat di atas terjadi perbedaan titik pemberangkatan. Penulis menilai, fatwa-fatwa pengharaman tersebut berangkat pada tasyabuh dan menjaga agar akidah umat Islam tetap terjaga dengan tidak mengikuti ritual-ritual yang berada di luar Islam. Sedangkan pendapat yang membolehkan mereka, titik pemberangkatannya atas dasar tasamuh. Karena dalam ucapan Natal tersebut tidak berarti mengeluarkan keyakinan akidahnya. Dengan catatan ucapan tersebut hanya untuk menyenangkan kerabat dekat. Maka simpulan atas perbedaan pendapat ini penulis memandang dalam dua aspek. Yakni aspek sosial dan aspek politik kenegaraan. Pertama, dari sisi sosial toleransi amat perlu untuk menjaga kerukunan beragama. Bentuk toleransi yang dimaksud bukan berarti ikut hanyut dalam ritual peribadatan. Karena pada hakikatnya implementasi toleransi di negara yang majemuk seperti di Indonesia cukup dengan memberikan keleluasaan kepada mereka yang berbeda secara akidah. Kedua, dari sudut pandang politik kenegaraan. Konsekuensi Indonesia sebagai negara yang bukan berasaskan Islam memposisikan kepala negara atau pejabat daerah yang berada di bawahnya dalam hal ini semisal Presiden atau Gubernur menjadi pemimpin atas seluruh agama resmi. Oleh karena itu jika mereka tidak mengucapkan atas hari keagamaan agama lain, akan dipandang menjadi pemimpin hanya untuk salah satu identitas. Meskipun sebenarnya tanpa mengucapkan pun ketika jaminan keleluasaan untuk mereka beribadah jauh lebih dari cukup dalam menerapkan toleransi. Memposisikan pemimpin atas berbagai entitas ini tercermin pada perjanjian Hudaibiyah sebagai berikut: ...“Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh Muhammad Rasulullah.” Lantas orang-orang musyrik berkata, “Jikalau kami tahu bahwa kamu adalah Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali: “Hapus kata-kata itu (tulisan ‘Rasulullah’).” Ali menjawab, “Aku tidak mau menghapusnya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghapusnya dengan tangannya sendiri.”…[3] Kemudian muncul persoalan selanjutnya, ketika menjadi pejabat publik lantas apakah nilai akidah tergadai jika dihadapkan persoalan demikian? Wallahu’alam… [1] Kamus Al-Munawir, hal. 657 [2] Ibid, hal. 692 [3] Lihat Hadis Muslim 3335 tentang Perjanjian Hudaibiyah Oleh: Rizal Sunandar Editor: Isma Aniatsari