Badan Pusat Statistik pada bulan Februari 2019 meliris data terbaru tentang jumlah tenaga kerja di Indonesia. Dari tahun 2016 – 2019, jumlah tenaga kerja baik laki-laki dan perempuan, di perkotaan maupun di perdesaan yang terdiri dari buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas di pertanian, dan pekerja bebas di nonpertanian mengalami angka peningkatan. Pada tahun 2016 jumlah tenaga kerja berada pada angka 58,2 juta. Tiga tahun kemudian, jumlah tenaga kerja meningkat menjadi 61,2 juta. (Badan Pusat Statistik, 2019). Di tengah meningkatnya jumlah tenaga kerja di Indonesia baik di perkotaan dan perdesaan, ternyata tidak memengaruhi upah atau gaji tenaga kerja salah satunya adalah buruh/karyawan/pegawai. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019 pada bulan Agustus 2016, gaji bersih buruh berada pada angka 2,5 juta namun angka tersebut mengalami peningkatan dan penurunan sampai pada bulan Februari 2019. Kondisi upah buruh yang tidak stabil, maka buruh mendesak para stakeholder atau pemangku kepentingan di sebuah perusahaan untuk menaikkan upah buruh menjadi upah layak nasional. Pada Mayday 2019 yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, buruh kembali mendesak stakeholder dengan mengajukan Sepuluh Tuntutan Buruh dan Rakyat (Sepultura) dan tiga di antaranya adalah pertama penghapusan sistem kerja kontrak, sistem outsourcing, dan permagangan, kedua tolak kebijakan upah murah dan berlakukan upah layak nasional, dan ketiga tolak PHK, union-busting, dan kriminalisasi. Hal yang paling menarik dan terjadi setiap demo buruh berlangsung pasti tentang upah layak. Ada apa dengan sistem upah layak di Indonesia? Sementara itu, selama periode kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (JK), ada sejumlah aturan tentang perburuhan yang telah diterbitkan. Dikutip dari laman Tempo.co beberapa aturan perburuhan di era Jokowi – JK yaitu tentang Upah Minimum Provinsi (UMP), Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan Jaminan Ketenagakerjaan. Tapi dari ketiga aturan tersebut ditanggapi dan mendapat respon berbeda dari para serikat buruh di Indonesia. Mengapa? Karena mereka menilai sikap pemerintah merugikan dalam sektor ketenagakerjaan dan upah buruh. Kalau kita kaji ulang, sikap buruh adalah bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam menindaklanjuti tuntutan para buruh. Hal itu pula yang membuat ribuan buruh dari berbagai kota yang tergabung dalam beberapa aliansi pekerja melakukan aksi demonstrasi pada Rabu (02/10/2019) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Demo tersebut menerbitkan tiga tuntutan di antaranya revisi UU Ketenagakerjaan no 13/2003, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas 3 dan merevisi PP No 78/2015 tentang pengupahan buruh seperti yang dilansir melalui laman CNBC Indonesia. Namun, satu dari ketiga tuntutan itu yang diajukan buruh membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) keberatan adalah tentang pengupahan buruh. Menurut Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana dikutip dari laman katadata.co.id ia menilai tuntutan buruh perihal upah masih perlu dikaji lebih matang lagi. Menurutnya, kenaikan upah buruh yang progresif dan skala nasional mengakibatkan kolapsnya industri-industri di Indonesia. Menurut sumber Asian Productivity Organization (APO) dari laman katadata.co.id tentang tingkat produktivitas tenaga kerja di ASEAN pertahun menyatakan bahwa Indonesia masih berada di tingkat rendah dalam hal produktivitas bekerja. Hal tersebut yang membuat Danang kurang menyetujui tentang revisi pengupahan buruh di Indonesia. Meski Apindo keberatan terkait tuntutan upah buruh tetapi pemerintah tetap memproses tentang pengupahan tersebut. Melalui surat edaran Menteri Ketenagakerjaan tentang penetapan UMP pada 15 Oktober 2019 dalam kutipannya menyatakan Surat Kepala BPS Nomor B246/BPS/1000/10/2019 Tanggal 2 Oktober 2019 menjelaskan bahwa tahun ini inflasi berada pada angka 3,39% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12%. Itu artinya UMP dan UMK Tahun 2020 meningkat menjadi 8,51% berdasarkan data inflasi nasional tentang pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang dilansir dari katadata.co.id. Mungkin menurut pemerintah dengan memenuhi keinginan buruh itu adalah solusi jalan keluar. Tapi kenaikan itu malah tidak mendapat respon positif dari buruh. Saat ini baik buruh dan pengusaha menolak kebijakan pemerintah terkait revisi pengupahan. Pihak buruh menilai bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah masih tidak sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak kenaikan inflasi sebesar 8,51% karena menurutnya jika formula KHL digunakan maka kenaikan UMP bisa 10 hingga 15 % seperti yang dilansir dari katadata.co.id. Dalam hal ini baik pengusaha dan buruh memiliki substansi yang berbeda terkait kepentingannya dalam menolak pengupahan buruh. Buruh menilai jika UMP 8,51% artinya pengupahan buruh masih belum dikatakan sesuai formula KHL. Jika tidak sesuai dengan formula KHL, maka tidak adanya kesejahteraan terhadap nasib buruh. Sedangkan menurut Apindo data tingkat produktivitas pekerja berdasarkan infografis APO menilai bahwa angka kenaikan pengupahan yang meningkat tidak sesuai dengan produktivitas para pekerja yaitu 42 jam bekerja. Angka itu masih dianggap jauh dari angka produktivitas bekerja di tingkat ASEAN. Sehingga, Apindo merasa keberatan dengan kenaikan upah buruh jika harus disesuaikan dengan KHL. Apa betul kerja 42 jam itu masih jauh dari tingkat produktivitas bekerja? Padahal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jam bekerja bagi pekerja swasta adalah 40 jam/minggu. Lalu, bagaimana jika waktu kerja melebihi jam kerja? Nyatanya, pemerintah masih tetap memperbolehkan pekerja untuk bekerja lebih dari 40 jam. Hal itu sudah diatur sesuai dengan Kepmenakertrans No. 233 tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus bahwa beberapa pekerjaan yang tidak berlaku untuk menerapkan jam kerja 40 jam contohnya seperti pekerja media massa. Maka, salah satu penyebab terjadinya demo buruh di Indonesia bisa jadi karena tingkat produktivitas buruh yang meningkat dan ketidaksesuaian antara produktivitas kerja dengan upah kerja layak. Hal itu dibuktikan dengan hasil data dari Badan Pusat Statistik 2019 tentang waktu jam kerja buruh perminggu yaitu 42 jam/minggu. Selain itu, melalui Kepmenakertrans No. 233 secara langsung pemerintah mendukung kapitalis dengan meningkatkan produktivitas buruh melalui jam kerja yang melebihi batas normal yakni 40 jam/minggu. Jadi, suara siapa yang sebenarnya pemerintah dengar? Suara buruh atau pengusaha? Oleh: Fitra Hasnu