Jauh sebelum Pileg dan Pilpres, media sosial tanah air sudah terpapar noda berupa ujaran kebencian dan kebohongan yang cukup massif. Pelakunya tidak mengenal usia, profesi, dan gender. Ujaran kebencian dan kebohongan dalam banyak pengamatan para peneliti ada yang diproduksi secara sengaja, ada juga pelakunya yang benar-benar tidak tahu. Namun keduanya mengandung makna yang sama yaitu bahaya pada aspek konten. Secara konten -- apapun motifnya -- baik itu ujaran kebencian maupun kebohongan, akan selalu membawa madarat. Sebab konten media sosial seperti itu selalu memberikan makna negatif bagi siapapun yang terpapar. Efeknya adalah perilaku negatif bahkan gesekan sosial. Jangkauan paparannya akan semakin luas sebab setiap orang akan dengan sangat mudah dan bangga menyebarkan kembali konten negatif itu pada orang lain yang ada dalam kontaknya atau siapapun yang berteman dengannya. Kebanggaan orang dalam menyebarkan ulang pada umumnya diakibatkan karena ketidak tahuan tentang konten kebohongan. Sebagiannya lagi justru sengaja menyebarkan akibat kebencian yang memuncak. Lagi-lagi, secara konten, kebohongan selalu dibungkus oleh data dan argumen yang seolah-olah rasional. Editan gambar dan framing video tidak segan-segan dilakukan agar tidak ada yang meragukan tentang kebohongan yang diproduksinya. Masyarakat berperadaban tinggi, pantasnya selalu mengantisipasi fenomena ini dengan cara konfirmasi atau tabayyun. Namun nihilnya perilaku tabayyun menujukkan kekhilafan yang akut karena terhipnotis konten yang emosional. Akhirnya fakta ini menginformasikan betapa canggihnya pelaku atau produsen kebohongan dan ujaran kebencian di media sosial. Para pemangku kepentingan di media sosial tidak sayang untuk mengeluarkan anggaran cukup tebal untuk membayar para pencipta konten ini. Pengakuan para penyedia jasa konten media sosial untuk kepentingan politik, sebagaimana disiarkan media televisi misalnya, mengaku tidak mau melayani mitranya yang membayar murah. Mereka hanya mau memproduksi konten jika ada bayaran sangat tinggi. Yang menjadi korban dari persekongkolan jahat ini sebenarnya masyarakat. Namun karena sentimen tertentu yang sudah memenuhi fikiran masyarakat, maka keberadaan konten negatif terkadang justru menjadi senjata. Keberadaan konten itu akan secepat kilat disebarkan untuk memberondong musuh-musuh politik, atau hanya sekedar meluapkan kegembiraannya karena telah "menembak" lawan dengan konten negatif itu. Akhirnya, media sosial, apapun platformnya menjadi begitu kotor dan lusuh. Keberadaannya sangat menjijikan karena bergelimang konten sampah yang tidak pantas dibaca dan ditonton. Anehnya, tidak banyak yang sadar jika konten yang ada dalam media sosial yang dibanggakan itu adalah sampah dan racun. Tidak mudah mensterilkan media sosial dari konten penuh kebohongan dan ujaran kebencian. Strategi pertama sebelum melakukan pencucian adalah kesadaran keberadaan noda. Jika pemilik akun tidak menyadarinya maka selama itu pula dirinya tidak akan pernah sadar untuk melakukan pembersihan. Padahal, masyarak Indonesia pada umumnya dan Jawa Barat pada khususnya termasuk masyarakat yang kuat dengan agama dan budayanya. Nilai agama dan budaya begitu ketat ketika berbicara kebohongan dan ujaran kebencian. Tetapi pada kenyataannya, masyarakat kita begitu longgar dalam memfilternya. Karenanya, atas dasar ajaran agama dan berbasis pada nilai budaya yang beradab, kita dituntut untuk menjadi pihak pertama dalam membangun kebudayaan media sosial yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, atas dasar ajaran agama dan nilai budaya yang dianut, baiknya kita mengisi media sosial dengan konten-konten positif dan edukatif. Generasi milenial misalnya, sebagai pemilik peradaban ke depan, harus keluar dari jeratan media sosial yang destruktif. Bahkan di pundaknya lah masa depan media sosial berada. Dengan kemampuan digitalnya, generasi milenial dapat menjadi aktor utama untuk membersihkan peradaban media sosial yang lebih baik. Pekerjaan yang tidak mudah. Tetapi upaya ini menjadi lebih mendesak agar dunia media sosial semakin beradab. Dengan membasuh media sosial, artinya generasi milenial dan siapapun yang memiliki kepedulian dengannya, akan mengganti konten bernada negatif itu dengan konten positif yang bergizi tinggi sehingga lebih menyehatkan siapapun yang terpapar olehnya. Penulis adalah pemerhati media sosial dan pegiat Literasi