ngaderes.com - Dewan Pers menerbitkan Peraturan Dewan Pers tentang pedoman pemberitaan ramah anak pada 9 Februari 2019 yang bertepatan dengan Hari Pers Nasional.
Penerbitan peraturan tersebut didasari pada kepedulian terhadap anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.
Selain itu, pedoman pemberitaan ramah anak menegaskan peran Pers yang merdeka dan berbudaya turut andil untuk melindungi harkat dan martabat anak. Peran tersebut diaktualisasikan dengan melindungi anak dari pemberitaan negatif.
Baca Juga: Pemerintah Kota Bandung Resmikan IPAL Grey Ciko 4 Guna Tekan Banjir Sungai Citarum
Tujuannya, agar anak dapat tumbuh dengan wajar, hidup dalam lingkungan yang kondusif, dapat berkembang normal secara jasmani maupun rohani, untuk mencapai kedewasaan yang sehat, demi kepentingan terbaik bagi anak.
Adapun definisi pemberitaan negatif pada anak yang dimasksud Dewan Pers yaitu pemberitaan yang menjadikan anak sebagai obyek eksploitasi, diungkapkan identitasnya seperti wajah, inisial, nama, alamat dan sekolah secara sengaja ataupun tidak sengaja sehingga anak tidak terlindungi secara baik. Kemudian penggunaan bahasa yang kasar dan vulgar.
Menanggapi pemberitaan terhadap anak, Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (Yayasan YAPHI) melalui laman resminya di suarakeadlian.org menyebutkan, pihaknya masih menemukan media yang kurang tepat dalam menggunakan kata atau diksi dalam penulisan kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Soal diksi yang kurang tepat digunakan oleh pers dalam pemberitaan kekerasan seksual menurut YAPHI seperti menyetubuhi, menggagahi, menggauli, suka sama suka dan seterusnya.
Menanggapi hal itu, Pimpinan Redaksi IDN Media Uni Lubis pada Agustus 2022 dalam sebuah webinar terkait kode etik pemberitaan kekerasan seksual pada perempuan dan anak, menyatakan bahwa dengan membentuk perspektif dan mendorong terbitnya buku panduan atau pedoman penulisan kekerasan seksual pada perempuan dan anak, membuat pemberitaan tentang kekerasan seksual akan lebih baik lagi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh Dean G. Kilpatrick, 2007, jenis peristiwa kriminal/kejahatan yang sering diliput media salah satunya adalah pemerkosaan dan kejahatan seksual.
Di Amerika Serikat sendiri, pengalaman jurnalis dalam meliput perkosaan dan kejahatan seksual, biasanya melibatkan narasumber yang menjadi korban, baik dewasa maupun anak-anak.
Korban biasanya tidak ingin identitasnya diketahui oleh publik karena mereka merasa malu. Selain itu, korban juga khawatir tindakan balasan dari pihak pelaku kejahatan dan stigma sosial yang cenderung menyalahkan korban kejahatan sosial. Pelaku biasanya orang yang sudah dikenal korban.
Maka yang harus diupayakan oleh jurnalis menurut YAPHI adalah mencegah supaya korban tidak mengalami trauma ketika seolah diingatkan terkait peran dalam kejahatan yang dialaminya.
Baca Juga: Hati-Hati! Ini 5 Ciri-Ciri Asam Lambung Naik ke Paru-Paru
Artikel Terkait
Tantangan Pers di Era Digital
Wartawan Tak Hilang Akal Meski Pandemi Covid-19 Mengekang Aktivitas Jurnalistik Harian
Arti Kata Press dan Pers Serta Hubungannya dengan Jurnalistik
Sejarah Panjang Monumen Pers Nasional, Yuk Simak!