ngaderes.com - Sejarah menjadi sesuatu yang sangat dekat dengan agama Islam. Bahkan untuk mencapai keidealan hidup dan memahami kaifiyat (tata cara) ibadah kita harus mempelajarinya lewat merenungi jalan hidup Rasulullah SAW.
Mempelajari apa saja yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW baik dalam perkataan, perbuataan, dan persetujuanya yang kemudian kita kenal sebagai hadits.
Baca Juga: Wow! Inilah Negara dengan Jumlah Jam Puasa Terpanjang di Dunia
Ini membuktikan betapa dekat umat Islam dengan sejarah. Badar bin Nashir al-Badar dalam Halu Salaf Ma’a Quran (2011) halaman 268, mengutip perkataan Imam Abu Hanifah,
“Mempelajari kisah perjalanan orang-orang hebat, lebih aku sukai, daripada mempelajari sebagian besar ilmu fikih.”
Kemudian Badar bin Nashir al-Badar memberikan komentar mengenai perkataan Imam Abu Hanifah, bahwa ketika kita mempelajari riwayat hidup orang-orang besar akan menyejukkan sanubari kita.
Baca Juga: Omar Mukhtar, Ketika Guru Ngaji Berusia 65 Tahun Mengalahkan 9 Tank Canggih Italia
Melalui perjalanan hidup mereka yang berbinar terang, dan kita dapat meneladani bagaimana menampaki jalan untuk mengikuti Rasulullah SAW.
Berdasarkan penjelasan di atas, sejarah nampak jelas dekat sekali dengan agama Islam.
Sebagai permulaan, itu mari kita coba mengambil hikmah dari autobiografi Imam Abu Hanifah, imam peletak dasar madzhab fikih, Madzhab Hanafi.
Mengenal dan Mengambil Hikmah dari Kehidupan Imam Abu Hanifah : Tidak bersedia menolong pemerintahan Dzalim
KH.E Abdurrahman pada buku Perbandingan Madzhab (2010), mengisahkan riwayat hidup Imam Abu Hanifah. An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi, yang dikenal Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 700 Masehi atau 81 Hijriyah, di Kufah.
Wilayah ini adalah tempat terbesar yang akan digulingkan oleh kekuasaan Abbasiyyah. Abu Hanifah sendiri hidup pada masa peralihan dizaman Dinasti Bani Ummayyah ke Bani Abbasiyyah.
Baca Juga: Cikal Bakal Masjid Al Rahma Liverpool, Berawal dari Sebuah Ruangan di dalam Rumah
Dan beliau menghabiskan kehidupannya dengan belajar juga mengajar.
KH.E Abdurrahman menyebutkan, di saat Imam Abu Hanifah sedang belajar, terlihat sebagai orang yang selalu haus akan ilmu pengetahuan.
Sedangkan saat beliau mengajar dikelilingi dengan para murid, ia akan tampak seperti mata air yang tidak kering dari hari ke hari.
Selain mengajar Abu Hanifah menafkahi hidupnya dengan berjualan kain. Ia dikenal sebagai seorang pedangan yang tidak rakus dalam mencari laba.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, yang dipimpin Yazid bin Umar bin Hubaira, Abu Hanifah diminta untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara (Qadhi), namun Imam Abu Hanifah menolak.
Baca Juga: Mengenal KH Hasyim Asy’ari, Tokoh Pendiri NU
Penolakan itu mengakibatkan dirinya dituduh tidak setia pada pemerintahan Umayyah. Hal tersebut kembali terulang kembali ketika Abbasiyyah menguasai.
Imam Abu Hanifah kembali ditawari menjadi Qadhi namun ia menolaknya, hal ini menyebabkan beliau di penjara dan wafat di dalam penjara pada tahun 767 M.
Menurut KH.E Abdurrahman, Imam Abu Hanifah sebagaimana ulama lainnya yang tidak bersedia untuk menolong pemerintahan yang dzalim.
Karena menurut Imam Abu Hanifah dengan membantu pemerintahan seperti itu sama dengan menguatkan kedzaliman. ***
Penulis : Muhammad Akmal Firmansyah, Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunug Djati Bandung
Artikel Terkait
Apa yang Terjadi Jika Malam Terus-menerus atau Siang Terus-menerus Sampai Kiamat? Ini Kata Allah Swt
Aksi Mahasiswa 11 April, Kapolri: Antisipasi Penumpang Gelap dan Jaga Kesucian Bulan Ramadhan
Komisi V Minta Kemenhub Pastikan Kenyamanan Penumpang Transportasi Darat Saat Mudik Lebaran Tahun 2022