ngaderes.com -- Jika Hassan adalah penyair kebanggan Rasulullah dan Islam, maka Tsabit bin qais adalah orator kebanggan Rasulullah dan Islam. Kata-katanya kuat, tegas, padat, dan menarik.
Pada tahun kedatangan para utusan dari penjuru jazirah Arab ke Madinah, datang juga utusan dari bani Tamim. Mereka berkata kepada Rasulullah, datang, “Kami datang untuk menunjukkan kelebihan kami. Izinkan penyair dan orator kami bicara.”
Rasulullah tersenyum dan berkata kepada mereka, “Aku izinkan. Silakan.”
Uthraid bin Hajib, orator mereka mulai bicara membanggakan kelebihan kaumnya sampai tuntas.
Setelah itu, Rasulullah berkata kepada Tsabit bin Qais, “Berdiri dan jawablah.”
Tsabit bin qais berdiri dan mulai bicara, “Segala puji bagi Allah. Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya. Keduanya berjalan sesuai atura-Nya. Singgasananya meliputi ilmu-Nya. Setiap yang ada adalah karunia-Nya. Dengan kemahakuasaan-Nya kami dijadikan pemimpin. Memilih manusia terbaik sebagai rasul. Dialah manusia paling mulia, paling jujur, dan paling tinggi derajatnya. Kepadanya diberi alquran dan diserahi tanggung jawab membimbing seluruh manusia. Dialah manusia terbaik pilihan Allah di alam semesta ini. Ia mengajak manusia beriman. Ajakannya disambut baik oleh kerabat dan kaumnya. Merekalah kelompok manusia dari keturunan terbaik dan ternyata tingkah laku mereka juga sangat baik. Merekalah orang-orang Muhajirin. Kemudian kami, kaum Anshar datang menyambut baik ajakannya. Kamilah para penolong agama Allah dan pendamping Rasul-Nya.”
Kiprahnya di medan perang dimulai di Perang Uhud. Setelah itu, Tsabit bin qais tidak pernah absen di setiap peperangan. Perjuangan dan pengorbanannya luar biasa dan menakjubkan. Sulit dicari bandingannya.
Di Perang Riddah, Tsabit bin qais selalu berada di depan; membawa bendera kaum Anshar; menyabetkan pedangnya tanpa henti.
Di Perang Yamamah, yang beberapa kali sudah kita bicarakan, Tsabit bin qais melihat dampak buruk dari serangan mendadak pasukan Musailamah al-Kadzdzab. Maka, ia berseru dengan suara yang lantang menggelegar, “Demi Allah, tidak seperti ini dulu kami berperang bersama Rasulullah.” Ia pergi tidak jauh. Ketika kembali ia sudah membalut badannya dengan kain kafan.
Ia berseru lagi, “Ya Allah aku benar-benar tidak ikut bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan (kaum muslimin yang berperang dengan tidak gigih.)”
Salim (mantan budak Abu Hudzaifah) yang memegang bendera kaum Muhajirin bergabung bersamanya. Keduanya menggali dua lubang, masuk ke lubang itu dan menimbunnya dengan tanah, hingga separuh tubuh mereka tertimbun dalam lubang.
Dua orang itu bagai paku bumi yang separuh badannya tertanam dalam tanah dan separuh lagi menghadap kea rah musuh siap menghadapi setiap tentara musuh yang mendekat.
Mereka membabat habis setiap tentara musuh yang mendekat, hingga akhirnya keduanya menemui kesyahidan di lubang mereka.
Tindakan dua tentara muslim ternyata sangat besar pengaruhnya mengembalikan semangat pasukan Islam. Mereka kembali berperang dengan gigih hingga akhirnya pasukan Musailamah terkubur bersama pasir dan tanah untuk selamanya.
Artikel Terkait
Zaid bin Khattab: Si Burung Elang di Medan Perang Yamamah
Zaid bin Khattab: Si Burung Elang di Medan Perang Yamamah (Part 2)
Tsabit bin Qais, Orator Kebanggan Rasulullah dan Islam (Part 2)