Pertama, fakir yaitu orang mempunyai harta kurang dari satu nisab atau setengah dari keperluannya. Bisa dibayangkan pendapatannya tidak lebih dari mencukupi. Kedua, orang miskin yaitu orang mempunyai harta atau usaha lebih banyak dari ukuran fakir yakni seperdua atau lebih tetapi itu tetap tidak mencukupi kebutuhannya.
Ketiga, amilin yaitu pengurus zakat yang tidak mendapatkan upah selain dari zakat itu sendiri. Keempat, mu’allaf yaitu orang yang baru masuk islam dan memiliki semangat yang tinggi dalam menggelorakan Islam kepada lingkungan dan masyarakat. Kelima, hamba sahaya yaitu seseorang yang apabila ia diberikan zakat maka ia terbebas dari tuannya (merdeka).
Keenam, gharimiin yaitu orang yang berutang, namun bukan hanya sekedar hutang. Yakni, ia yang berhutang dalam beberapa kondisi. Ia berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih untuk kepentingan sendiri pada perkara yang mubah atau tidak mubah tetapi sudah tobat. Karena menjamin utang orang lain ini, sedang dia dan yang berutang itu tidak dapat membayar hutang maka ia berhak menerima zakat fitrah.
Ketujuh, Sabilillah yaitu balatentara yg tidak mendapat gaji dari pimpinan dan tidak mendapatkan bagian dari harta yg disediakan untuk keperluan peperangan. Maka ia juga boleh untuk menerima zkat fitrah. Kedelapan, musafir yaitu orang yg kehabisan bekal dalam perjalanan yang halal dan ia hanya diberi sekedar cukup untuk ongkos pulang.
Melihat pada kondisi yang ada saat ini, pendistribusian zakat tidak harus dipaksakan diberikan kepada 8 golongan itu. Dilihat dari situasi dan kondisi wilayah mustahiqnya. Untuk golongan hamba sahaya, saat ini memang sudah tidak ada lagi, begitu pun dengan musafir pun jarang kita temukan. Sama halnya dengan sabilillah, saat ini bukan zaman peperangan. Logis, kalau sabilillah yang dimaksudkan disini adalah mereka para penda’wah yg tidak mendapatkan biaya hidup yang tetap.
Namun saat ini, distribusi zakat fitrah banyak dipusatkan pada fakir-miskin-gharimiin. (sae)