ngaderes.com - Selain urusan yang dianggap halal dan haram, dalam Islam juga terdapat perkara yang disebut sebagai syubhat. Perkara syubhat ini berada di tengah-tengah antara halal dan haram. Berikut penjelasan dilansir dari situs resmi MUI.
Secara etimologi, syubhat mengacu pada sesuatu yang kabur, samar, atau tidak jelas. Sedangkan dalam konteks istilah, syubhat merujuk pada hal-hal yang berada di antara kebaikan (maslahat) dan kerugian (mafsadat), di mana terdapat kebaikan tanpa ada kerugian yang diantisipasi, atau sebaliknya.
Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir, di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan:
Baca Juga: Niat dan Doa Sesudah Shalat Hajat Lengkap Arab, Latin dan Terjemah
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
“Yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas pula. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Maka batang yang meninggalkan yang syubhat, maka dia telah membersihkan diri dari agama dan kehormatannya” (HR Bukhari 52 dan Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir RA).
Dengan demikian agama dan kehormatan kita menjadi bersih, jika kita meninggalkan perkara-perkara yang syubhat.
Syekh Izzuddin bin Abdus Salam, dalam Karyanya, Syajarat al-Maarif, menjelaskan contoh-contoh yang Allah SWT halalkan, haramkan, dan yang terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya:
Pertama, contoh yang Allah SWT halalkan dengan menyebutkan sifatnya. Misalnya, gandum dan domba yang Allah SWT ciptakan dengan sifat yang menunjukkan kehalalannya. Maka dia bisa diharamkan kecuali karena adanya sebab-sebab yang rusak, seperti karena barang itu merupakan hasil rampasan.
Oleh karena itu, jika kedua hal tersebut diperoleh melalui metode yang telah disetujui, maka keduanya dianggap halal.
Namun, jika kedua hal tersebut diperoleh melalui metode yang memicu perbedaan pendapat, maka keduanya menjadi syubhat karena sebabnya tidak bersifat pasti.
Kemudian, sebagai contoh, terdapat benda-benda yang jelas-jelas haram, seperti bangkai dan darah. Kedua hal ini diharamkan berdasarkan sifatnya yang jelas-jelas tidak halal. Oleh karena itu, keduanya tidak dapat menjadi halal kecuali dalam situasi tertentu, seperti dalam kondisi darurat atau keadaan terpaksa, yang mana dalam kedua situasi ini telah disepakati bahwa hukumnya menjadi halal.
Namun, jika terdapat perbedaan pendapat mengenai kedua hal ini, maka tingkat keharaman bangkai akan bergantung pada kekuatan dalil yang mendukungnya.
Artikel Terkait
Investasi Saham di Pasar Modal Halal atau Haram? Simak Fatwa DSN MUI Ini
Tanggapi Viral Nabidz Wine Halal, Ini Penjelasan Ketua MUI
Ini Alasan Mengapa Jasa Logistik Perlu Sertifikasi Halal