Transformasi Batavia Menjadi DKI Jakarta

- Senin, 12 September 2022 | 12:00 WIB
Transformasi Batavia Menjadi DKI Jakarta (Ilustrasi Canva)
Transformasi Batavia Menjadi DKI Jakarta (Ilustrasi Canva)

ngaderes.com - Transformasi Jakarta menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dari awal saat menjadi Batavia. Berikut cerita Evolusi Jakarta seperti dilansir dari situs indonesia.go.id.

Sejak awal persiapan kemerdekaan, tema tentang ibu kota negara (IKN) tidak menjadi isu yang dianggap krusial. Undang-Undang tentang Jakarta sebagai IKN pun baru muncul pada 1999.

Ihwal Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia (RI) pernah dibahas dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atas usulan Mr Mohammad Yamin. Namun, dalam sidang pada Juni 1945, mayoritas anggota BPUPK menolak pencantuman nama IKN ke dalam konstitusi negara. Risalah sidang hanya menyatakan, soal IKN itu nantinya dapat diputuskan oleh pemerintah atas persetujuan parlemen.

Maka, ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, isu IKN pun belum mengemuka. Yang penting merdeka dulu. Badan-badan kelengkapan negara pun segera dibentuk, seperti Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebagai parlemen sementara, dan kementerian-kementerian. Meski ada di Jakarta, tak semua punya kantor.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berkantor di rumah dinas masing-masing. Rapat kabinet dihelat di Kediaman Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur nomor 56. Badan Pekerja KNIP menggelar sidang kadang kala di Jl Pejambon, yang kini menjadi Kantor Kementerian Luar Negeri, dan kadang pula di Jl Cilacap, pada sebuah bangunan bergaya kolonial yang kini masih utuh dan menjadi The Hermitage Hotel.

Republik muda ini belum bisa menunjukkan kekuasaannya. Sebagian bangunan perkantoran masih diduduki oleh bekas penguasa militer Jepang, dalam transisi penyerahan diri ke tentara sekutu. Mewakili pasukan sekutu yang menjadi pemenang perang Pasifik, tentara Inggris pun mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 29 Septembember 1945, yang disambut secara kooperatif oleh Pemerintah RI yang baru lahir.

Misi mereka melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan orang barat yang ada di tangan Nippon. Namun, di belakang pasukan Inggris itu ada kekuatan militer Belanda datang membonceng. Bukan hanya di Jakarta, penyusup juga masuk ke kota besar di Indonesia, seperti di Medan, Padang, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar, pada kurun September–November 1945.

Setelah melucuti pasukan Jepang, mereka pun menduduki bangunan-bangunan strategis di Jakarta, atas mandat untuk menegakkan ketertiban hukum. Pada saat yang sama, militer Belanda bergegas memperkuat diri seraya membentuk pemerintahan sementara yang disebut Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA). Mereka berniat membangun kembali kekuasaan kolonialismenya dan secara terbuka menyatakan tak mengakui kemerdekaan Indonesia.

NICA terus mencoba membangun jejaring pemerintahan baru di Indonesia, tapi gagal memperoleh dukungan rakyat. Di Jakarta, menjelang akhir 1946, NICA menghidupkan lagi Kantor Burgemeester (Wali Kota) Batavia. Pejabat lama yang baru bebas dari status tawanan Jepang, Archibald Theodoor Bogaart, diangkat menjadi wali kota. NICA juga menolak penyebutan Batavia sebagai Jakarta, nama yang baru disematkan sejak era pendudukan Jepang awal 1942.

Jadi, di Jakarta ada dua pemerintahan daerah. Yakni, Wali Kota Jakarta Suwiryo di satu sisi yang mewakili RI dan Burgemeester Boogart yang mewakili NICA. Tak lama berselang, pecah perang pada Juli 1947 (Clash 1). Suwiryo ditangkap dan “diekstradisi” di Yogyakarta. Sedangkan, Theodoor Boogart bersiap-siap membangun kota satelit Batavia di kawasan Kebayoran pada 1948.

Ibu Kota Negara Berpindah

Di tengah upaya Pemerintah RI untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya, NICA pun menebar ancaman nyata. Provokasi berbau kekerasan mulai dilancarkan, dan mengancam jiwa para pemimpin republik muda itu. Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah pemimpin lain pun hijrah ke Yogyakarta, pada awal Februari 1946 , dan menggelar pemerintahannya dari kota budaya tersebut.

Perpindahan para pemimpin itu diikuti oleh arus besar hijrah dari segenap aparatur pemerintahan dan berbagai unsur pendukungnya. Biasa disebut kaum republiken yang ribuan jumlahnya. Pusat pemerintahan pun pindah ke Yogyakarta. KNIP menyusul kemudian.

Namun, Yogyakarta rupanya tak bisa cepat menyediakan akomodasi untuk KNIP. Maka, sidang pleno KNIP 1946 digelar di Solo dan Sidang Paripurna 1947 dihelat di Kota Malang.

Halaman:

Editor: Dita Fitri Alverina

Sumber: indonesia.go.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Menelusuri Jejak Prasejarah di De Tjolomadoe

Rabu, 5 Oktober 2022 | 12:00 WIB

Transformasi Batavia Menjadi DKI Jakarta

Senin, 12 September 2022 | 12:00 WIB

Ini Ternyata Asal Usul Nama Gedung Sate

Kamis, 8 September 2022 | 12:00 WIB
X