ngaderes.com - Monumen Pers Nasional menjadi saksi lahirnya radio pribumi pertama, cikal bakal RRI, dan berdirinya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946.
Berikut ini pemaparan lengkapnya dilansir dari situs resmi indonesia.go.id. Hiruk-pikuk kendaraan berlalu lalang seolah tak menggoyahkan ketekunan tiga pria yang berdiri memandang sebuah papan pengumuman berbahan aluminium dilapis kaca. Ukuran papannya sekira panjang 4 meter dan lebar 1 meter, ditopang oleh tiga kaki besi setinggi pinggang orang dewasa.
Papan pengumuman dilengkapi sebuah kanopi dengan bagian atap bergelombang. Di dalam papan berlapis kaca tadi terpampang lembaran-lembaran aneka artikel dari empat media cetak terbitan lokal dan nasional.
Di sudut paling kiri papan berkaca, tampak seorang pria bercelana pendek biru kaus putih polos dengan rambut hampir memutih menghiasi kepala. Garis jejak kerutan penanda keriput mulai kelihatan di lengan dan sudut mata pria yang hanya beralas kaki sendal karet. Sambil sekali-sekali membetulkan letak kacamata berlis hitam tebal yang terkadang melorot ke ujung cuping hidung, ia tampak takzim membaca artikel yang mengulas fluktuasi harga saham di Bursa Efek Indonesia.
Di sebelahnya, dengan perawakan tak jauh beda, ada seorang bapak berjaket merah kusam. Mulut sedikit menganga seolah terpana dengan berita kilas soal rencana gila salah satu orang terkaya dunia memindahkan manusia ke Planet Mars. Kantung plastik kresek hitam yang sedari tadi digenggam erat dua jari tangan kirinya hampir saja jatuh terempas ke trotoar abu-abu. Tiga kali ia gelengkan kepala dan kali ini sambil mulutnya tak henti komat-kamit seperti sedang bicara sendiri.
Di ujung paling kanan, pria lebih muda, bercelana jins biru kaus kerah warna senada dan sepatu sneaker, beberapa kali tangan kirinya mengepalkan tinju ke udara. Terdengar suara lumayan keras dari pelantang mini yang tersemat ke lubang kuping. Samar-samar terdengar suara mengentak musik tekno seperti hendak meloncat dari pelantang hitam yang terhubung dengan gawai canggih si pria muda yang tersimpan di saku celana. Sepertinya si pria muda sedang menikmati musik jedag jedug kesukaannya sambil membaca artikel telaah pertandingan dua klub sepak bola ternama di negaranya Ratu Elizabeth II.
Begitulah keseharian di halaman depan Monumen Pers Nasional, sebuah gedung kokoh abu-abu empat lantai berdiri angkuh tepat di seberang bundaran yang mempertemukan Jl Gajah Mada dan Jl Yosodipuro, Kota Surakarta. Papan layanan baca yang berdiri tegak di sayap kiri halaman depan Monumen Pers Nasional adalah sudut favorit warga untuk membaca koran gratis yang terbit di hari itu.
Membaca koran sendiri kini menjadi sebuah pemandangan langka ketika beragam informasi bisa didapat dengan mudah dalam hitungan sekejap lewat kemajuan teknologi digital dengan internet sebagai panglimanya. Itu pula sebab, mengapa banyak industri pers media cetak gulung tikar dibuatnya.
Awalnya, bangunan Monumen Pers Nasional yang beralamat di Jl Gajah Mada 59, Kelurahan Timuran, Kecamatan Banjarsari itu merupakan balai berkumpulnya para penghuni Pura Mangkunegaran. Berdiri pada 1918 atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara VII, gedung itu dulunya bernama Societeit Sasono Soeko Mangkunegaran. Letaknya di sebelah barat Pura Mangkunegaran. Sasono Soeko adalah satu dari tiga bangunan societeit yang pernah ada di Surakarta selain Societeit Harmoni dan Societeit Habiproyo.
Saksi Peristiwa Bersejarah
Perancangnya adalah Mas Aboekassan Atmodirono, arsitek pribumi pertama di Nusantara. Pria kelahiran Wonosobo, 18 Maret 1860 itu nasibnya sungguh beruntung karena pernah merasakan sekolah untuk anak-anak Belanda dan bangsa Eropa lainnya, Europeesche Lagere School atau ELS. Bersama Mangkunegara VII, keduanya memadukan kultur Timur dan Barat pada tampilan bangunan. Perkumpulan Budi Utomo menjadi wadah bertemunya Mangkunegara VII dan Mas Aboekassan karena keduanya aktif di organisasi itu.
Menurut buku "Monumen Pers Nasional: Spirit Journalist of Indonesia", gaya Timur desain gedung diwakili oleh bentuk cakrik atau fasad menyerupai Candi Borobudur. Sedangkan gaya Barat terlihat dari bentuk jendela, pintu, dan langit-langit yang tinggi, khas arsitektur art deco Eropa di masa itu. Tak hanya sebagai tempat berkumpulnya keluarga besar Pura Mangkunegaran, gedung itu juga sarat oleh fungsi sosial yang tinggi.
Sebagai lokasi pertemuan, Sasono Soeko pernah dijadikan tuan rumah rapat pendirian Solosche Radio Vereeniging (SRV) atau Perkumpulan Radio Solo pada 1 April 1933. Inilah stasiun radio pertama yang dimiliki pribumi dengan format siaran soal budaya ketimuran. Dikelola oleh Sarsito Mangunkusumo, insinyur lulusan Techniche Hogeschule Delft, Belanda dan bergelar raden mas.
Ia tangan kanan Mangkunegara VII untuk urusan infrastruktur publik yang dibangun Pura Mangkunegaran. SRV adalah cikal bakal lahirnya Radio Republik Indonesia. Panitia tender kantor pertama SRV dibentuk oleh keponakan Sarsito, yakni Ir Sediyatmo, penemu pondasi bangunan cakar ayam yang terkenal. Mengutip buku Babad Sala, studio SRV berhasil berdiri di atas lahan pemberian Mangkunegara VII seluas 6.000 m2 yang berlokasi di Kampung Kestalan. Pada 29 Januari 1936, siaran SRV mulai mengudara diawaki para angkawasan pejuang seperti Sarsito.
Artikel Terkait
Sejarah Islam di Aceh, Permulaan Masuknya Islam ke Bumi Nusantara Indonesia
Bandung Kota Angklung, Ini Sejarah Singkat dan Jenisnya