Histori- “Tugas manusia adalah menjadi manusia” salah satu kutipan terkenal dari buku Max Havelaar. Salah satu buku yang kerap disebut dalam pelajaran sejarah, karena membahas buruknya perlakuan Belanda terhadap masyarakat pribumi. Karya besar ini ditulis oleh Eduard Douwes Dekker, setelah tiga bulan menjabat sebagai asisten residen di Lebak Banten.
Tampaknya tiga bulan di Indonesia memberikan kesan yang mendalam bagi Dekker. Tidak hanya menulis buku Max Havelaar, tapi juga mengirimkan surat pada Raja Wilem III, penguasa Belanda kala itu. Suratnya berisi mengenai kekejaman perlakuan para utusan Belanda pada penduduk Hindia Belanda saat itu.
Berkat jasanya mengungkap rahasia penjajahan Belanda, pemerintah Indonesia membangun Museum untuk Dekker, yang kini dikenal dengan Museum Multatuli.
Foto: Fahmi Idris/ngaderes.com
Nama Museum Multatuli diambil dari nama pena Dekker, yakni Multatuli. Selain itu, nama Multatuli yang memiliki arti “Aku telah banyak menderita” dianggap sebagai ungkapan perlawanan rakyat yang marah atas penjajahan pada saat itu. Dengan kata lain, Multatuli adalah simbol perlawanan yang diinisiasi oleh Douwes Dekker. Oleh karena itu, nama Multatuli dianggap cocok disematkan pada Museum yang diresmikan pada 11 Februari 2018 oleh Bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya bersama Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI, Hilmar Farid.
Meskipun mengadopsi nama Multatuli, bukan berarti Museum ini hanya berisi sekelumit kisah tentang seorang Eduard Douwes Dekker saja. Justru, Museum ini menyajikan kronologis secara garis besar mengenai upaya bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Foto: Fahmi Idris/ngaderes.com
Museum yang terletak di bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak ini berisi tujuh ruangan yang saling terkait satu sama lain. Ruangan pertama disebut Ruang Selamat Datang. Begitu masuk Museum, kamu akan disambut oleh mozaik wajah Multatuli yang dirangkai dari potongan akrilik. Di ruangan ini pula, kamu akan menemukan satu kalimat beliau yang terkenal, “Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia”.
Ruangan kedua adalah ruang Kolonialisme. Ruang ini memberikan wawasan mengenai alasan bangsa Eropa, terutama Belanda, datang ke Nusantara. Ruang ketiga adalah Ruang Tanam Paksa. Sesuai namanya, pada ruang ini kamu bisa menyimak kisah mengenai tanam paksa. Buat kamu yang suka kopi, di ruangan ini pun ada sejarah pertama kali bibit kopi dibawa ke Indonesia.
Ruang selanjutnya adalah ruang Multatuli. Ruang yang berisi alasan sang sastrawan modern menulis karya besar, Max Havelaar. Selain itu kamu juga bisa melihat wajah tokoh-tokoh yang terinsipirasi dari karya itu, seperti R.A Kartini, Pramoedya Ananta, hingga Soekarno. Di ruang berikutnya, Ruang Banten, kamu bisa melihat kegigihan masyarakat Banten dalam melawan para penjajah. Selain itu, terdapat alur perjuangan nasional seperti berdirinya Sarekat Islam dan Indische Partij.
Ruang keenam adalah ruang Lebak. Berisi sejarah Lebak hingga hasil budaya Lebak. Ditampilkan juga Prasasti Cidanghiyang dari Kerajaan Tarumanegara, yang ditemukan di Desa Lebak, Manjul, Kabupaten Pandeglang. Ruang terakhir adalah Ruang Rangkasbitung. Ruangan ini berisi beragam buku Max Havelaar dari berbagai bahasa dan tahun.
Selain itu, di ruangan ini kamu juga bisa membaca profil orang-orang yang memiliki kisah di Rangkasbitung. Sebagai pemanis, kamu bisa menengok puisi yang tercetak di sudut ruangan ini, berjudul Sajak Demi Orang-Orang Rangkasbitung yang ditulis oleh WS Rendra.
Antikolonialisme Multatuli
-
Foto: Fahmi Idris/ngaderes.com
Dalam Museum yang hanya ada dua di dunia ini, kamu bisa merasakan perjuangan Multatuli menolak perlakuan kaum se-negaranya terhadap bangsa pribumi. Douwes Dekker yang lahir di Korsjespoortsteeg, Amsterdam, Belanda pada 2 Maret 1820 ini sempat menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak, Banten pada 21 Januari – 29 Maret 1856.
Melalui jabatannya ini lah Dekker melihat langsung penindasan yang dilakukan oleh bangsa asalnya. Praktik busuk tanam paksa yang dilakukan pemerintah kolonial menggerus hatinya. Dan pada akhirnya menjadi alasan ia meletakkan jabatannya.
Di sebuah kamar kecil di Brussel, Belgia, ia tuliskan segala bentuk penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa lokal dan para kolonial kepada rakyat Lebak, Banten. Lahirlah buku fenomenal berjudul “Max Havelaar” yang terbit pertama kali pada 14 Mei 1860. Hingga kini, buku tersebut telah diterjemahkan kurang lebih ke dalam 40 bahasa.
Perjuangan Multatuli belumlah usai. Sebagaimana arti nama Multatuli, telah banyak yang menderita karena penjajahan. Dan sudah menjadi tugas kita untuk mengenang dan melanjutkan perjuangan. Salah satu caranya dengan berkunjung ke Museum Multatuli. Menghormati, memaknai dan melanjutkan semangat, keberanian hingga optimisme Multatuli dan menerapkannya di hari esok.
Penulis : Fahmi Idris/Internship
Editor : Hildatun Najah