Kisah di Balik Monumen Djuang Kota Pekalongan

- Sabtu, 4 Desember 2021 | 00:01 WIB
Monumen Djuang
Monumen Djuang

Histori - Monumen Djuang Kota Pekalongan disebut juga Monumen 3 Oktober. Monumen ini berlokasi di kelurahan Bendan, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Monumen ini menjadi salah satu ikon bersejarah perjuangan rakyat Pekalongan melawan penjajah Jepang. Jauh sebelum Monumen Djuang Kota Pekalongan dibangun, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pejabat Jepang yang berada di Kota Pekalongan sempat merahasiakan kabar kemerdekaan Indonesia dari masyarakat Kota Pekalongan. Di lain waktu, pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta, sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia. Langkah selanjutnya dari kemunculan KNIP, pada 28 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di karesidenan Kota Pekalongan dengan dr. Sumbadji sebagai ketua dan dr. Ma'as sebagai wakilnya. Atas usulan KNID Pekalongan, Mr. Besar Martokusumo dilantik menjadi Residen Pekalongan pada 23 September 1945 oleh Presiden Soekarno. Upaya pertama KNID pada saat itu ialah pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang. Pada September 1945 KNID Pekalongan sudah mulai menghubungi Syuchokan Pekalongan yaitu Tokonami agar menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat Pekalongan. Dr. Sumbadji selaku ketua KNID Pekalongan mengusulkan agar dibentuk Badan Kontak untuk menyatukan masyarakat serta menampung aspirasi mereka agar tindakan yang diambil bisa manunggal dan terorganisir. Keesokan harinya masyarakat Pekalongan berkumpul di lapangan Kebonrojo, depan Gedung Kempetai sejak pukul 08.00 WIB. Tak hanya masyarakat karesidenan Pekalongan, akan tetapi masyarakat yang berkumpul di lapangan Kebonrojo sebagian ada yang berasal dari Batang dan Comal. Masyarakat hadir dengan mengenakan pakaian siap tempur dan membawa senjata yang berupa bambu runcing dan parang. Selain rakyat jelata, sejumlah anggota Kepolisian juga hadir dengan mengenakan pakaian preman. Anggota kepolisian tersebut yaitu, Suwarno, Sunaryo, Utarman, Hoegeng, Utaryo, A. Bustomi dan teman-temannya. Perkumpulan ini juga di hadiri oleh KH. Syafii Abdul Majid dan KH. Siroj yang mengerahkan dan memimpin masyarakat. Pada waktu yang bersamaan di tengah perundingan di Gedung Kempetai, terjadi penyandraan orang-orang Jepang dari kelompok Pemerintahan dan kelompok Sakura, yang disekap oleh masa di kantor Shuchoo. Perundingan dimulai pukul 10.00 WIB antara pihak Jepang dan Indonesia. Dalam perundingan tersebut masyarakat Pekalongan menuntut tiga hal. Yaitu
  1. Pemindahan kekuasaan secara damai dan secepatnya.
  2. Semua senjata Jepang harus diserahkan kepada rakyat Pekalongan.
  3. Memberikan jaminan kepada pihak Jepang bahwa mereka akan diperlakukan baik dan dikumpulkan di markas Keibetei (Museum Batik).
Akan tetapi pihak Jepang menolak perundingan tersebut. Setelah dua jam berunding, Mr. Besar membacakan hasil perundingan yaitu pihak Jepang akan menyerahkan sebagian senjata kepada Kepolisan Pekalongan agar jumlah senjata Jepang dengan polisi sama. Tetapi senjata itu harus disimpan di Societet dan kuncinya dipegang oleh Mr. Besar dan komandan Kompetei. Pada saat Mr. Besar kembali masuk ke ruangan perundingan residen, sekelompok orang menaiki pagar pemisah antara Gedung Keibetei dan Gedung Residen dan terjadilah peperangan yang dimenangkan oleh rakyat Pekalongan. Akhirnya Jepang meninggalkan Pekalongan menuju Purwokerto pada 7 Oktober 1945 secara diam-diam pada pukul 04.30 WIB. Hari itu Karesidenan Pekalongan menjadi wilayah pertama di Indonesia yang bebas dari kekuasaan Jepang. Seluruh serdadu Jepang meninggalkan Kota Pekalongan menuju Purwokerto sebelum dipulangkan ke Jepang melalui pelabuhan Cilacap. Saat ini, lapangan Kebonrojo diubah menjadi Monumen Djuang 3 Oktober 1945 oleh pemerintah dan Gedung Kempetei berubah menjadi Masjid Asyuhada. Sumber: Dirhamsyah, M. Arief. 2014. Pekalongan yang (tak) Terlupakan. Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah. Pekalongan. Penulis: Sya’riah An-Najh/Internship Editor: Fahmi Idris/Internship

Editor: Redaksi

Tags

Terkini

Menelusuri Jejak Prasejarah di De Tjolomadoe

Rabu, 5 Oktober 2022 | 12:00 WIB

Transformasi Batavia Menjadi DKI Jakarta

Senin, 12 September 2022 | 12:00 WIB

Ini Ternyata Asal Usul Nama Gedung Sate

Kamis, 8 September 2022 | 12:00 WIB

Eksotika Klasik-Modern Stasiun Solo Balapan

Jumat, 26 Agustus 2022 | 12:00 WIB

Sejarah Panjang Monumen Pers Nasional, Yuk Simak!

Selasa, 23 Agustus 2022 | 12:00 WIB
X