ngaderes.com - Tanggal 5 Juli 1959 panitia atau dewan pembentuk undang-undang dasar negara Indonesia sedang berusaha menyusun segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan yang baru.
Namun, belum selesai penyusunan tersebut, Sukarno yang kala itu menjabat sebagai Kepala Negara, membubarkan panitia.
"Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945," tegas Sukarno menetapkan tentang dasar negara Indonesia melalui dekrit presiden 5 Juli 1959.
Baca Juga: Kisah Nabi Daniel yang Dilempar ke Gua Singa
Kemudian panitia atau dewan pembentuk undang-undang dasar negara pun terbelah menjadi dua kubu besar.
Kubu pertama adalah kelompok yang memilih landasan negara berdasarkan Piagam Jakarta. Sedangkan kubu kedua bersikeras menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Dua kubu tersebut memiliki landasan pemikiran tentang perlu atau tidak mencantumkan 7 kata di sila pertama Pancasila.
Tujuh kata tersebut yaitu: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Mengenal Piagam Jakarta
14 tahun sebelum tahun 1959, mundur ke tahun 22 Juni 1945, Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi dua kubu antara kubu nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam.
Kemudian beragam kritik saranpun muncul dari berbagai tokoh nasional saat itu terkait dengan 7 kata yang tertera dalam Piagam Jakarta.
Singkat cerita, Piagam Jakarta pun disahkan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menjadi Pembukaan Undang-undang Dasar.
Tujuh kata di sila pertama Piagam Jakarta pun dipertahankan atas kesepakatan seluruh pihak.
Baca Juga: Info Penerimaan Santri Baru Pesantren di Ponorogo, PP Sulamul Huda Gelombang 2
Artikel Terkait
Apakah Agama Musuh Pancasila? (Respon terhadap pernyataan kepala BPIP)
Peringati Hari Lahir Pancasila, Presiden Jokowi Pimpin Upacara di NTT Sampaikan Beberapa Amanat Berikut
Peringati Hari Lahir Pancasila, Wali Kota Bandung: Perbedaan Itu Anugerah