ngaderes.com - “Allah tidak akan memberi manfaat dan kemuliaan bagi umat yang tidak mau hidup berjama’ah, tidak bagi umat terdahulu dan tidak juga bagi umat yang hidup di akhir zaman.”
Momentum kemerdekaan Indonesia akan mengingatkan bangsa Indonesia kepada para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan.
Film yang disutradarai oleh Rako Prijanto yang dirilis pada tahun 2013, menjadi film yang mengisahkan sekaligus menggambarkan bagaimana para ulama pun turut berjuang mengupayakan kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: 6 Ide Sarapan Sehat dan Bergizi agar Lebih Semangat Hadapi Hari
Film ini berlatar belakang masa penjajahan yang mengangkat kisah hidup ulama dari Tebu Ireng, Jombang, KH. Hasyim Asyari yang merupakan pendiri organisasi terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Saat pertama menonton film ini, kita akan disuguhkan pemandangan desa yang asri dimana seluruh warganya hidup sederhana dan damai. Begitu juga di pesantren Tebu Ireng yang selalu ramai kedatangan santri baru.
Didukung dengan setting film yang dibuat antara tahun 1942-1947, menjadikan film ini berhasil membawa para penontonnya ikut merasakan situasi pada saat itu. Seperti menyaingi film garapan Hanung Bramantyo, Sang Pencerah yang menceritakan tentang biopic seorang Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Dengan judul yang kebetulan hampir sama, namun biopic milik pendiri Nahdlatul Ulama tersebut tak sepenuhnya fokus kepada KH. Hasyim Asyari. Karena dalam film ini juga menceritakan tentang kehidupan sekitar pesantren Tebu Ireng serta perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan.
Bagi penyuka film sejarah, film ini layak masuk ke dalam daftar film yang wajib ditonton. Karena gaya cerita yang dibuat masih pop dan enjoyable, bahkan ada sedikit unsur komedi dalam film yang tentu membuat penonton tidak bosan.
Di samping itu, film ini juga memberikan subplot cerita kepada karakter-karakter lainnya seperti Harun (salah satu santri Tebu Ireng) yang mempunyai screening time, dan subplot cerita tentang dirinya dan kehidupannya lebih banyak. Sehingga tidak melulu tentang sejarah, bahkan love story antara Harun dan Sarinah ikut menghangatkan film ini.
Konflik bermula tatkala KH. Hasyim Asyari (Ikranegara) menolak untuk menandatangani kesepakatan untuk melakukan sekerei---menyembah atau sujud kepada matahari.
Tanpa kehabisan akal, Jepang menangkap Ikranegara dengan memberikan tuduhan bahwa ialah yang menjadi pelopor kerusuhan di Pabrik Gula Cukir. Penangkapan ini memicu berbagai macam reaksi dari berbagai kalangan terutama keluarga dan para santri Tebu Ireng.
Tak lama kemudian, beliau dipindahkan ke Mojokerto karena para santri telah memenuhi markas Jepang atas diplomasi dari KH. Wahid Hasyim dan KH. Hasbullah dengan para petinggi Jepang. Hal ini dilakukan agar KH. Hayim Asyari dibebaskan dan kemudian membicarakan suatu kesepakatan yang menguntungkan Jepang.
Pada tanggal 7 September 1942 para petinggi Jepang selanjutnya mengumpulkan para ulama dari Jawa dan Madura, untuk membahas mengenai “latihan kiai” yang dilaksanakan pada 1 Juli 1943.
Artikel Terkait
Empat Perspektif Memaknai Kemerdekaan
H.O.S Tjokroaminoto, Sosok Jurnalis Pra-Kemerdekaan Indonesia
Kontribusi NU dalam Perjuangan Kemerdekaan RI
Pemuda Tanggap Berbagi Sukses Gelar Perayaan Kemerdekaan dengan Ratusan Tahfidz Yatim Dhuafa di Lembang
Museum Pendidikan Surabaya, Perlihatkan Pendidikan di Indonesia dari Zona Pra-Aksara sampai Zona Kemerdekaan