Ditulis oleh: Alumni Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Astronomi, Yolana Vichesa, S.Si Ngaderes.com - Benarkah bahwa tidak ada yang abadi di alam semesta ini? Benarkah bahwa nanti Matahari tidak akan bersinar lagi? Lalu, bagaimana nasib kita –makhluk Bumi? Alam semesta diisi oleh bintang-bintang yang tidak terhitung jumlahnya. Di dalam bintang terjadi berbagai reaksi kimia yang menyebabkan bintang dapat menghasilkan energi dan cahaya sendiri. Matahari adalah bintang yang jaraknya paling dekat dengan Bumi, Keberadaan Matahari menjadi sumber energi utama di Tata Surya termasuk Bumi dan kehidupan yang ada di dalamnya. Setiap harinya Matahari terlihat dalam keadaan yang relatif sama baik ukuran maupun intensitas cahaya yang dipancarkan. Namun sebenarnya Matahari mengalami perubahan secara bertahap. Perubahan tersebut terjadi dalam waktu yang sangat lama yaitu mencapai jutaan bahkan miliaran tahun sehingga tidak dapat diamati oleh manusia selama masa hidupnya. Para astronom melakukan pengamatan terhadap berbagai macam bintang untuk memperoleh informasi yang menggambarkan karakteristik masing-masing bintang tersebut seperti usia, massa, struktur, dan komposisi kimia yang terkandung di dalamnya. Informasi tersebut kemudian digunakan untuk mempelajari jejak evolusi bintang. Salah satu metode identifikasi jejak evolusi Matahari dilakukan melalui pengamatan bintang L2 Puppis menggunakan teleskop radio ALMA. Pada 5 miliar tahun yang lalu, bintang ini memiliki karakterisktik yang mirip dengan Matahari sehingga perubahan-perubahan yang dialami bintang L2 Puppis sampai saat ini berusia 10 miliar tahun dapat dijadikan sebagai pembanding dalam memprediksi evolusi Matahari di masa depan. Hingga saat ini Matahari telah berusia sekitar 4,6 miliar tahun. Selama waktu itu, Matahari telah melewati berbagai tahapan evolusi mulai dari tahap pembentukan bintang hingga kini telah menjadi bintang deret utama. Pembentukan Matahari berawal dari gumpalan materi antar bintang berbentuk gas dan partikel atomik yang kemudian berkontraksi akibat gaya gravitasi. Kontraksi tersebut membuat materi memadat dan temparaturnya meningkat mencapai 150.000 K sehingga terbentuk bayi Matahari yang mulai memancarkan radiasi. Radius bayi Matahari hanya sekitar 50% dari radius Matahari saat ini. Ketika temperatur mencapai 10 juta kelvin, terjadi pembakaran hidrogen menjadi helium di daerah inti. Bayi Matahari kemudian berevolusi menjadi bintang deret utama. Di tahap inilah bintang menghabiskan sebagian besar hidupnya. Matahari akan bertahan sebagai bintang deret utama sekitar 4,5 hingga 5,5 miliar tahun lagi. Reaksi pembakaran di inti membuat jumlah hidrogen terus berkurang sedangkan helium terus bertambah sehingga terbentuk inti Matahari yang didominasi oleh unsur helium. Saat hidrogen habis terbakar, inti Matahari akan mengerut sehingga tekanan dan temperaturnya meningkat. Akibatnya, lapisan yang menyelubugi inti Matahari akan terbakar dan mengembang hingga mencapai 100 kali radius awalnya. Pengembangan ini membuat temperatur permukaan Matahari turun drastis sehingga Matahari akan terlihat berubah warna dari kuning menjadi merah. Pada tahap ini Matahari disebut dengan bintang raksasa merah.