Ngaderes.com - Mendengar penggalan kalimat diatas menjadi tidak asing bagi sebagian orang. Namun bisa jadi, asing juga bagi sebagian lain. Maraknya ragam informasi di media sosial barangkali mengaburkan anak muda masa kini untuk melek sejarah. Alih - alih menelisik sejarahnya, orang mungkin lebih senang melihat kalender bertanggal merahnya. Tanggal 2 Mei yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dibalik tanggal merah mungkin belum banyak yang tahu kisah dibalik hari bersejarah itu. Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara Bunyi penggalan semboyan diatas kita kenal saat kita di bangku pendidikan. Bahkan kalimat berbunyi "Tut wuri handayani" dijadikan semboyan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Arti dari makna penggalan semboyan diatas berbunyi sebagai berikut:Ing ngarsa sung tuladha
Ing madya mangun karsa Tut wuri handayani
"Di depan memberi contoh, ditengah memberi semangat dan dibelakang memberikan daya dan kekuatan"Semboyan diatas adalah buah pemikiran seorang Ki Hajar Dewantara, yang sering disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Semboyan tersebut bisa dijadikan acuan bagi tenaga pendidik atau pemimpin. Seorang pendidik haruslah orang terdepan yang bisa memberi contoh, mampu mendampingi memberi semangat dan memberikan dorongan serta dukungan untuk anak didik. Dengan kata lain, seorang pemimpin, di depan, ia harus punya sikap dan perilaku yang patut dicontoh oleh orang yang di pimpin. Ditengah, pemimpin harus mampu membentuk tim maju dan membuat inovasi. Dan di belakang, seorang pemimpin harus mampu memberikan motivasi dan dorongan.
Dari Muda Bersekolah Menjadi Jurnalis dan Aktivis, Sempat Diasingkan Hingga Ahirnya Berhasil Suarakan Persamaan Pendidikan Dengan Mendirikan Taman SiswaSiapa itu Ki Hajar Dewantara? Mengapa hingga saat ini, namanya harum sebagai pahlawan bangsa? Ki Hajar Dewantara berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman yang berlokasi di Yogyakarta. Maka tak aneh jika nama asli Ki Hajar Dewantara ini bergelar Raden Mas. Nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Karena latar belakang keluarga yang berasal dari bangsawan tersebut maka Ki Hajar Dewantara memperoleh akses pendidikan dengan mudah. Beliau bersekolah di ELS, yakni sekolah khusus untuk anak - anak eropa (Belanda) dan para bangsawan. Setelah lulus, beliau melanjutkan sekolah di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter para pribumi pada masa kolonial Belanda. Sekolah Dokter Bumi Putera yang sekarang dikenal dengan fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Selesai sekolah, beliau memiliki ketertarikan dalam dunia jurnalistik dan tulis - menulis. Ki Hajar Dewantara kemudian bekerja di beberapa perusahaan surat kabar yakni Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Kemudian menjadi seorang jurnalis dan kolumnis. Semasa hidupnya, Ki Hajar Dewantara juga seorang aktivis dalam pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Sejak Budi Oetomo berdiri pada tahun 1908, Soewardi ikut aktif dalam keorganisasian tersebut. Beliau mengambil peran sebagai propaganda yang bertugas mensosialisasikan pentingnya kesadaran pendidikan dan semangat persatuan bangsa dan negara khususnya di tanah Jawa. Tulisan Soewardi berisi tentang semangat anti kolonial. Salahsatu tulisannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Jika Saya Seorang Belanda) memicu kemarahan Belanda. Kemudian beliau diasingkan ke Pulang Bangka. Rekan sesama organisasi politik di Indische Partij yakni Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang sekarang kita kenal dengan Tiga Serangkai memprotes pengasingan tersebut. Alhasil pada tahun 1913 mereka bertiga di asingkan ke tempat yang berbeda. Soewardi diasingkan ke negeri Belanda. Disana pun ia aktif dalam organisasi pelajar Indonesia (Indische Vereeniging). Disinilah awal mula Soewardi semakin tergerak untuk memajukan pendidikan untuk rakyat pribumi. Sepulangnya dari pengasingan pada tahun 1919, beliau bergabung dengan sekolah yang dibangun oleh saudaranya. Berbekal ilmu yang dimiliki, beliau mengembangkan konsep pembelajaran dan pendidikan. Pada masa itu, beliau aktif menyuarakan persamaan pendidikan bagi siapa saja, tidak hanya terbatas pada kalangan bangsa Eropa Belanda dan bangsawan saja. Hingga ahirnya, beliau membuat Pusat Pendidikan dengan persamaan hak atau yang lebih dikenal dengan sekolah Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. (Tulisan bersambung ke bagian kedua)